Day 605

Playoff hockey is like nothing else and in an arena where there hasn’t been an empty seat since preseason and where opposing teams regularly have issues communicating on the ice because the decibel…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Wastafel Worked Hard

Teman itu ada batasan. Rekan itu disekat pekerjaan.

Hao dibuat frustasi oleh rentetan perilaku Hanbin yang susah buat dideskripsikan. Waktu dua tahun seharusnya sudah cukup untuk Hao membiasakan diri, namun nyatanya kian lama justru perasaannya malah makin menjadi-jadi. Sikap penuh afeksi yang selalu diberikan Hanbin setiap hari terasa seperti teror yang berbahaya, tapi anehnya kadang Hao juga menikmatinya.

Hao seratus persen menyadari bahwa apa yang dilakukannya tempo hari murni di luar kewarasannya. Surplus impulsif yang entah datang dari mana mendorong keberaniannya untuk mengutarakan apa yang ada di lubuk hati terdalam. Perasaan tidak bersalah cuma lewat sekelebat, karena beberapa hari setelah insiden tersebut malah mengantarkannya pada pikiran-pikiran negatif tentang kelanjutan hubungan mereka. Rui benar, belum mulai kayak udah kelar.

Seperti apa yang tadi dibilang, Hao kini sedang berada di balik salah satu bilik toilet fakultas teknik. Terduduk di WC tanpa memikirkan sejorok apa benda itu telah digunakan oleh para civitas akademika sana. Berulangkali ia menepuk-nepuk pipinya untuk membawa kembali seluruh jiwanya yang sempat kabur karena melamun ria selepas Hanbin mengirimkan pesan untuk menyusul ke sana.

Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana mengambil KTM miliknya dari tangan Hanbin tanpa bersentuhan langsung? Siapa yang akan mengakhiri percakapan —

“Hao?” sayup-sayup derap langkah kaki berhenti tepat ketika panggilan atas namanya terdengar. Hao jelas kenal siapa pemilik suara ini, ia mengasumsikan Hanbin sekarang sedang berdiri di depan pintu toilet yang dibiarkan terbuka.

Belum dijawab, tiba-tiba Hanbin berucap lagi, “Lagi di dalem, ya? Tunggu sebentar, gue juga mau buang air dulu.” katanya sembari memasuki salah satu bilik kosong di pojok, yang mana sebenarnya berhadapan dengan bilik Hao.

Oke. Baik. Selanjutnya apa? Haruskah Hao keluar sebelum Hanbin selesai? Ataukah dia harus terus berdiam diri seperti orang bodoh di sini? Tapi bukannya kalau begitu malah disangka lagi buang air besar? Ah, tau lah, piagam dan medali di rumah jelas tak menjamin otaknya sekarang bisa bekerja.

Hao keluar pelan-pelan, terlalu pelan hingga tak menimbulkan bunyi apa pun. Kalau ada Rui sekarang, pasti udah dibentak habis-habisan karena berbuat hal konyol yang tak masuk akal. Kini ia berdiri di depan cermin toilet, sibuk mencuci tangan hingga sekiranya Hanbin selesai dan keluar.

Toilet siang ini sangat sepi. Sebelum Hanbin masuk pun tiada orang lagi selain Hao seorang diri. Entah hal ini perlu disyukuri atau tidak, yang pasti Hao sedikit lega bahwa teriakan kecilnya saat Hanbin bilang mau menyusulnya ke sini tak didengar siapa pun.

“Hai.” Hanbin tiba-tiba sudah berdiri di belakang Hao yang masih menaruh perhatian penuhnya pada tangan yang sedang dicuci — padahal udah bersih dari tadi. Sapaan dan senyuman Hanbin barusan membuat Hao mematung, tapi tambah nge-freeze saat Hanbin bergerak menuju pintu untuk menutupnya dengan rapat.

Oke. Baik. Sekarang artinya cuma mereka berdua di toilet ini dengan pintu yang tertutup. Sekali lagi. Berdua. Toilet. Pintu tertutup.

Tahan kepala Hao untuk tidak memunculkan skenario-skenario murahan yang terinspirasi dari sinetron yang dia tonton di rumah, tapi situasi saat ini benar-benar di luar dugaan yang bahkan tidak pernah mampir di dalam benaknya. Wah, Rui kalau tau ini pasti juga heboh, sih.

Hanbin kembali memposisikan dirinya di belakang Hao yang masih setia di depan wastafel. Jam tangan hitam yang Hao ingat tak pernah absen di pergelangan Hanbin itu sekarang dilepas. Kemeja putih yang sengaja digulung lengannya hingga siku juga sama sekali tak membantu Hao untuk terus bersikap layaknya manusia waras.

Tangan kanan Hanbin dibiarkan menggantung di bawah lubang hand dryer di tembok sebelah kanan, sedangkan tangan kirinya meraih pinggang Hao yang ramping — mungkin bermaksud agar ia lebih leluasa dan diberi space, namun yang dilakukannya justru lebih terlihat seperti mendekatkan tubuh mereka berdua. Posisi ini bertahan selama kurang lebih lima belas detik — entah apa urgensinya bisa selama itu.

Hanbin kemudian merogoh kantong kanan celana jeans-nya. Tangan kanannya berusaha mengambil barang yang memang dijadikan alasan untuk bertemu, sebuah KTM yang hilang. Dan lagi, tangan kirinya masih asik nangkring di pinggang Hao. Ekspresi yang ditunjukkan Hanbin sekarang seolah-olah seperti ekspresi yang memang betul-betul menikmati keintiman mereka. Hao tak bisa menjelaskan secara detail, namun kontak mata serta seulas senyum Hanbin yang dipantulkan dari cermin di depan mereka jelas memberi sinyal pada Hao bahwa pelaku yang membuat hatinya berdegup kencang sedang dalam kondisi sepenuhnya sadar.

“Nih,” Hanbin menyerahkan KTM itu pada pemiliknya. Tahu betul posisinya saat ini sedang riskan, Hao membalikkan badan dengan menggunakan seluruh energinya yang tersisa setelah mengambil KTM yang ada di tangan Hanbin. Kemudian Hao membiarkan bokongnya disandarkan pada wastafel seperti sedang duduk di atasnya, seolah-olah wastafel itu bisa menahan beban, tak peduli mau sebasah apa bajunya nanti. Lututnya sedikit ditekuk, menciptakan jarak namun masih tergolong dekat.

Di lain sisi, Hanbin berusaha untuk tetap mempertahankan kontak mata mereka. Bohong kalau dia bilang pemandangan di hadapannya saat ini biasa saja, karena jauh di dalam hatinya ia ingin menjeriti tingkah lucu Hao yang kepalang jelas. Jarak yang sempat tercipta lagi-lagi dikikis Hanbin yang dengan sengaja mencondongkan tubuhnya ke depan, benar-benar kurang dari sepuluh sentimeter hidung mereka bisa beradu. Kedua tangan Hanbin berada di sisi tubuh kanan dan kiri Hao, ditumpu pada wastafel yang lagi-lagi harus menahan beban.

Hao menutup pandangan Hanbin dengan KTM-nya, “Beneran ketemu, ‘kan? Bukan usaha nyariin sampe ketemu?”

Dagu Hanbin menyingkirkan KTM yang sedang menghalangi pandangannya sekarang, “Iya, Hao. Kebetulan ketemu aja itu.”

Pencahayaan toilet FT lantai satu yang kurang baik seharusnya menjadi hal yang paling Hao syukuri karena ia bisa beranggapan Hanbin tidak melihat wajahnya yang saat ini sedang memerah dan memanas. Namun anggapan tersebut sepertinya langsung pupus karena selanjutnya Hanbin terkekeh kecil seperti telah memergoki sesuatu yang lucu, “Habis ini masih ada kelas?”

“Ini mau pulang, nungguin Rui sebentar ketemu temennya di sini.” jawab Hao pasrah. Sialan untuk hatinya yang bertindak terlalu kilat dan sialan untuk Hanbin yang mudah menyadari sesuatu dengan cepat.

“Oh, gitu. Yaudah, gue duluan ya, Hao.”

Pada akhirnya Hanbin menutup pertemuan mereka siang itu dengan sebuah usakan rambut yang pelan dan lembut pada kepala Hao. Meninggalkan lelaki yang jatuh terduduk di lantai toilet dengan gemuruh yang kembali menyergap di perut. Sebenarnya apa sih yang Hanbin mau?

Add a comment

Related posts:

Electoral violence in Papua New Guinea

Electoral violence persists in Papua New Guinea, with 50 reported deaths during the general election in July. The country has been plagued with violence since independence and recently due to…

Poundicherry Women T10 League live score and scorecard

Poundicherry women T10 league Fourth edition of the cricket Association of Poundicherry organized Women’s T10 Tournament will see Four teams Compete In league and this league will be starting on 6th…

Social Issues on College Campuses

I think that colleges need to talk more about sexual assault, substance abuse, alcohol and loneliness more because they are big issues with students. Colleges tell people about how well their…